Setelah semalam saya menghabiskan waktu di kampung Long Duhung, perjalanan pagi berlanjut ke desa Long Keluh. Bersama tim Puskesmas Kelay, kami berangkat sekitar jam 12.00 WITA dengan menggunakan ketinting lagi dan jokinya pun masih sama, Markus. Sementara tim Pencerah Nusantara (PN) justru lebih dahulu berangkat dengan menggunakan ketinting milik Puskesmas.
Kali ini, perjalanan tidak memerlukan waktu lama, hanya sekitar 1 jam perjalanan. Air sungai terlihat lebih pasang karena semalam hujan deras. Kami pun harus siap ketika air sungai lebih gampang masuk ke ketinting. Untuk mencegah agar kami tidak basah, Markus pun beli terpal baru. Mmmm servis ketinting yang memuaskan :))
Tidak banyak aktivitas yang saya lakukan sesampai di Long Keluh, karena kegiatan posyandu sudah selesai. Praktis hanya ada aktivitas konsultasi bagi para ibu hamil di Puskesmas Pembantu. Menurut cerita masyarakat setempat dan ibu bidan di sini, peran Puskesmas belum optimal. Contohnya, masyarakat masih percaya dukun bayi saat ibu hamil akan melahirkan.
Bahkan beberapa masyarakat masih memegang adat melahirkan harus di luar rumah. Buat mereka sangat tabu/ taboo melahirkan di dalam ruangan karena akan membawa hal-hal kotor ke dalam rumah. Kadangkala ibu hamil memilih melahirkan bayinya di ladang tanpa bantuan siapa pun, termasuk saat memotong tali pusar bayi/ ari-ari. Eh busyet….
“Buat masyarakat Dayak, sangat tabu/ taboo melahirkan di dalam ruangan karena akan membawa hal-hal kotor ke dalam rumah.
Wilayah desa Long Keluh tidak terlalu luas. Secara geografis dan demografis, Long Keluh hampir mirip dengan Long Duhung. Jajaran rumah panggung dan jalanan tertata dengan cukup rapi. Desa ini sempat terkena sapuan banjir bandang luapan dari sungai Kelay beberapa tahun silam. Pemerintah setempat sebenarnya telah menyiapkan sejumlah rumah sehat yang letaknya beberapa ratus meter dari jalan utama kampung.
Sedianya rumah-rumah yang gratis tersebut untuk merelokasi para warga yang tinggal di bibir sungai. Namun warga justru menolak dengan alasan rumah-rumah itu jauh dari sungai. Mereka keberatan karena kalau bepergian jadi lebih susah untuk menjangkau ketinting. Alhasil, jajaran rumah sehat itu pun mangkrak dan mulai rusak. Kondisi ini serupa yang terjadi di Long Duhung.
Perjalanan saya di Kelay pun harus berakhir di desa ini, meski sebenarnya saya masih ingin mencapai desa berikutnya, Long Suluy dan Long Macin. Tapi ya sudahlah jadwal saya menyebutkan harus menginap di kota kabupaten Tanjung Redep, Berau, karena esok (16/6) harus terbang ke Balikpapan – Makassar – Palu. Saya pun harus berpisah dengan teman-teman PN di Long Keluh. Suatu saat saya ingin menyusuri lagi sungai di pedalaman Dayak menggunakan ketinting, eh kok jadi ketagihan ya…:)))
Menuju Tanjung Redep
Menunggu travel yang kami pesan sejak dari Kecamatan, ternyata tidak datang-datang. Mau menghubungi sopirnya pun terkendala sinyal. Padahal saya sudah minta untuk dijemput jam 15.00. Oh ya di desa Long keluh ini tidak ada sinyal seluler sama sekali. Untuk menelpon pun harus menuju bukit yang letaknya sekitar 10 km dengan naik ojek. Di bukit ini ada BTS dari operator XL.
Beruntung ada travel lain yang akan menuju ke Tanjung Redep yang memakan waktu sekitar 3 jam. Biasanya tarif travel ini Rp 100 ribu. Namun karena bawaan saya dua tas dan pengen duduk legaan, saya beli dua kursi di dekat sopir, Pak Sjamsuddin. Mobil yang kami tumpangi ini berbak terbuka, hanya ditutup dengan terpal dan penuh muatan barang plus penumpang di atasnya. Kami pun berangkat dari Long Keluh jam 17.00. Thanks Novi, Upi, dan Rheas yang sudah bersusah payah mencarikan travel 🙂

Menurut Pak Sjamsuddin yang berasal dari Palu, mobil yang berani masuk ke Long Keluh biasanya berjenis double kabin 4×4. Hanya mobil dia yang jenisnya Kijang kapsul 4×2 diesel. Jalanan tanah becek dan berlumpur langsung dihajar tanpa peduli. Nyali sopir yang sudah 65 tahun ini cukup besar. Kami sempat masuk ke desa Long Duhung untuk mengambil kayu-kayu Gaharu dari masyarakat. Maklum Pak Sjam ini cukup ulet berbisnis. Saat naik dari Tanjung Redep ke Long Keluh, dia membawa barang-barang kebutuhan masyarakat, seperti gas, es balok, beras, minyak,dll. Nah, saat kembali ke kota dia membawa hasil bumi dari Long keluh dan Long Duhung seperti madu, kayu Gaharu untuk dijual ke kota. Cara ini untuk menutup biaya beli bahan bakar mobilnya.
Perjalanan kami sempat terhenti gara-gara mobil Pak Sjam ini mogok di salah satu kota kecamatan, lupa nama daerahnya. Saya sempat gelisah karena mengejar waktu agar sampai Tanjung Redep tak terlalu malam, padahal jam sudah menunjuk pukul 20.00 WITA. Setelah menunggu kiriman mobil pengganti dari kota, kami bisa berangkat lagi sekitar jam 22.00 WITA. Akhirnya saya sampai di Tanjung Redep jam 24.00 dan langsung mencari hotel untuk mandi dan tidur, karena esok paginya jam 06.00 harus sudah check-in di bandara Kalimarau, Berau.
Hak Cipta Foto-foto: Aditya Wardhana untuk MDGs
Catatan di Long Keluh, 15 Juni 2014