Long dalam bahasa Inggris berarti panjang. Namun Long dalam bahasa Dayak artinya kampung. Di kecamatan Kelay, ada sejumlah kampung dengan nama awal Long Duhung, Long Keluh, Long Beliu, Long Macin, Long Pelay, dan Long Sului. Kampung Long Duhung dan long lainnya ini berada di dekat sungai Kelay.
Perjalanan saya menyusuri sungai Kelay dimulai dari dermaga di bawah jembatan Kelay jam 12.30 WITA, sepulang kami dari desa Merasa. Dengan menggunakan ketinting (perahu bermesin tempel), saya dan teman-teman Pencerah Nusantara menuju ke desa Long Duhung.
Sementara itu tim Puskesmas sudah duluan jalan menggunakan ketinting lain. Oh ya, biaya sewa ketinting ini cukup mahal kalau kita memakai kurs rupiah Jawa 🙂 Biasanya para pencari kayu Gaharu menyewa ketinting dengan ongkos Rp3-3,5 juta untuk sampai ke lokasi hutan. Beruntung ketinting yang saya sewa ini milik Markus, salah satu tenaga kesehatan di Long Sului, jadi dapat diskon lumayan.
Berangkat
Naik ketinting ini menjadi pengalaman yang baru buat saya. Ketinting ini mampu memuat 7 orang, termasuk si Markus sebagai pengemudi. Selama 15 menit pertama, rasa khawatir masih muncul. “Nanti kalau ada ombak besar bagaimana? Ntar kalau goyang, bisa terbaik ngga ya?” Kecemasan dan pikiran seperti itu pun harus saya tutupi.
Percikan air sungai acapkali menerpa baju dan tubuh, bahkan ke muka. Sepanjang perjalanan, di kiri-kanan sungai yang terlihat adalah hutan-hutan nan lebat. Sungguh beruntung Indonesia memiliki hutan tropis khatulistiwa. Biawak yang sedang berjemur di pesisir sungai atau ular yang menggantung di pepohonan sering terlihat di sepanjang sungai.
Setelah mengarungi derasnya air sungai Kelay seama 2 jam, sampailah kami di dermaga desa Long Duhung. Janganlah membayangkan dermaga ini besar, karena yang tampak hanya pinggiran sungai yang tertambat beberapa ketinting. Kami pun menurunkan bawaan barang yang cukup banyak menuju ke Puskesmas Pembantu (Pustu), yang letaknya sekitak 100 meter.
Menjelang sore, aktivitas yang kami lakukan adalah posyandu balita dan lansia serta pengobaan masyarakat di balai desa Long Duhung yang cukup besar. Jalanan kampung desa ini juga sebagian telah dicor sewaktu proyek dari LSM/ NGO The Nature Conservacy masuk ke Long Duhung.
Mandi di sungai
Meski lokasinya dekat sungai, masyarakat Long Duhung tidak gampang memperoleh air bersih. Karena air yang terbatas di Pustu, sore hari kami (dr. Edi, Pak Hendry, Ridwan, Rheas, Upi, Novi, Septi, Dheyo, Markus, dan saya) mandi di sungai lain di sebelah desa. Jaraknya sekitar 200 meter.
Di sungai ini pernah dibangun tanggul untuk pembangkit listrik tenaga air, tapi sekarang tinggal pondasinya saja. Kemungkinan besar derasnya aliran air yang menyebabkan jebolnya tanggul tersebut. Jernihnya air sungai membuat kami tidak ingin segera mengakhiri mandi, meski sebenarnya telah menggigil kedinginan 🙂
Bulan Purnama
Suasana malam di desa Long Duhung terasa sepi. Aktivitas kami adalah Desa Siaga di rumah kepala kampung, Pak Misak Lungui. Sayangnya tidak banyak pengurus kampung yang datang karena sebagian besar sedang persiapan untuk kebaktian Minggu di gereja. Maklum saja, warga desa Long Duhung semuanya beragama Kristen.
Setelah semalaman tidur beralaskan tikar, kami pun bangun untuk senam bersama. Senam adalah satu kegiatan yang dilakukan PN. Selepas itu, tim PN melanjutkan perjalanan ke desa Long Keluh. Sementara saya dan tim Puskesmas justru berangkat belakangan, karena harus beribadah Minggu dahulu.
Hak cipta foto-foto: Adit untuk MDGs Indonesia
Catatan di Long Duhung , 14 Juni 2014